Rabu, 13 Agustus 2008

Pidana Mati Untuk Koruptor

Oleh: Slamet Hasan, SH
Advokat di Jakarta


Diskursus mengenai pidana mati kembali mencuat setelah Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono melalui jurubicara Kepresidenan, Andi Malaranggeng, mencetuskan wacana atau ide untuk menerapkan pidana mati bagi koruptor. Silakan masyarakat mewacanakan kembali perihal penerapan pidana mati bagi koruptor di Indonesia, begitu kira-kira sentilan Andi dalam sebuah wawancara dengan media massa. Pesan yang ingin disampaikan kurang lebih bahwa pemerintah SBY sangat serius dan tegas dalam upaya pemberantasan korupsi.

Menanggapi wacana tersebut, masyarakat hiruk pikuk mengangkat tema ini dalam setiap pembicaraan maupun obrolan ringan sambil minum teh atau kopi. Beberapa media massa baik cetak maupun televisi kembali mengangkat tema pidana mati dalam beberapa acara talk show, laporan khusus maupun diskusinya. Sedemikian antusias masyarakat kita menanggapi tema ini.

Sebagai pengingat, sebenarnya pidana mati dalam konteks hukum Indonesia telah dikenal dan diterapkan sejak jaman hindia belanda. Ketika menilik penerapan pidana mati, dalam kurun waktu dari jaman doeloe sampai sekarang memang telah mengalami beberapa perubahan, terutama dalam hal pelaksanaan pidana mati dilakukan. Misalnya dalam ketentuan BAB II Pasal 11 KUHP menyebutkan bahwa pidana mati dilakukan oleh seorang algojo di tempat gantungan.

Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam KUHP ini masih berlaku sebagaimana diatur dalam Perpres RI No. 2 tahun 1964, meskipun cara dan mekanisme pelaksanaan hukuman tidak lagi dengan cara dilakukan oleh seorang algojo di atas tiang gantungan.

Pidana mati selain diatur dalam KUHP juga dimuat dalam beberapa Undang-undang, antara lain adalah UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No. 15 tahun 2003 Tentang Terorisme.

Dalam konteks ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia adalah sah menurut hukum dan tidak melangggar konstitusi.

Menolak Hukuman Mati

Salah satu pihak yang paling vocal menolak diterapkannya hukuman mati di Indonesia adalah KONTRAS. Sebagaimana dirilis dalam laporannya mengatakan bahwa hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non derogaleb right) ini merupakan jenis hak yang tidak dapat dilanggar, dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan darurat, perang maupun ketika seseorang dipidana.

Hukuman Mati Untuk Koruptor

Prof. Romli Atmasasmita menolak diberlakukannya hukuman mati terhadap koruptor. Selama ini pidana mati terbukti tidak efektif memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan, lebih baik bagi seorang terpidana korupsi dikenakan hukuman kerja sosial, dengan demikian sang terpidana akan berasa malu jika harus melakukan kerja sosial di depan publik. Demikian pokok pemikiran dari Prof. Romli menanggapi penerapan hukuman mati terhadap koruptor.

Demikian pula pendapat Prof. Amin Rais, "Hukuman mati bagi para koruptor itu saya anggap terlalu berat, sebaiknya koruptor itu dikirim ke Pulau Buru saja. Kalau dari sana itu mereka melarikan diri baru ditembak, " ujar Amien sebagaimana dikutip dari www.eramuslim.com.

Hukuman mati bagi koruptor sendiri diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 tetang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 2 Ayat 2 UU No 20 tahun 2001 menyebutkan "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan". Sementara Pasal 1 berbunyi "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"

Dengan demikian penerapan hukuman mati terhadap koruptor sebenarnya sudah diatur dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun sangat sulit dalam prakteknya. Pelaksanaan hukuman mati bagi kasus korupsi dapat dilaksanakan dalam hal perbuatan pidana korupsi tersebut dilakukan jika Negara dalam keadaan darurat maupun bencana alam.

Penulis sendiri setuju dengan penerapan hukuman mati apabila pelaksanaan hukuman mati tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga harus dilakukan secara selektif dan hati-hati dengan memberikan kesempatan pembelaan secara hukum yang seluas-luasnya terhadap Terdakwa.

Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar