Oleh : Slamet Hasan
Belakangan ini, internet sudah mewabah di seantero dunia. Tidak ketinggalan sebagian besar negara di dunia ketiga (berkembang) sangat kerajingan dengan teknologi informasi ini. Demikian pula Indonesia, di hampir semua pelosok negeri telah tersentuh teknologi ini. Dalam sedetik orang yang tinggal di pelosok kampung atau bahkan di tengah hutan, asal ada jarigan internet, maka dapat mengetahui keadaan dan kejadian di seluruh dunia tanpa sensor.
Orang banyak menerima manfaat dengan hadirnya internet, orang dengan mudah dapat terhubung dengan relasi bisnis, melakukan bisnis online dan lain sebagainya. Tidak jarang di beberapa perusahaan memanfaatkan jaringan internet untuk mengoperasikan seluruh praktek bisnisnya. Namun, adapula orang yang memanfaatkan internet hanya untuk iseng, hura-hura atau bahkan melakukan tindakan curang dan jahat.
Pada tanggal 25 Maret 2008 yang lalu, lahirlah UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ini merupakan jawaban bagi kita mengenai segala persoalan hukum yang muncul di bidang informasi dan teknologi, terutama dengan segala persoalan terkait dengan pembuktian terhadap persoalan dan perbuatan yang dilakukan secara ekektronik.
Namun, ada beberapa Pasal yang menjadi ancaman serius yang menghadang bagi orang yang selama ini akrab dengan internet. Potensial ancaman tersebut antara lain adalah ancaman pelanggaran kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ancaman pelanggaran penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan ancaman pelanggaran menyebarkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berasarkan SARA. Ancaman hukuman terhadap perbuatan/pelanggaran ini pun tidak tanggung-tanggung yakni ancaman pidana selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar 1 (satu) milyar rupiah.
Pasal-pasal serupa dalam KUHP telah menelan banyak korban. Pasal-pasal ini dikenal dengan pasal karet atau haatzei artikelen. Dikatakan sebagai pasal karet karena penerapannya yang sangat lentur. Siapa saja bisa memberikan tafsir kapan dikatakan melanggar kesusilaan, kapan dikatakan melanggar penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan kapan dikatakan perbuatan menyebarkan rasa kebencian atau permusuhan.
Minggu, 15 Februari 2009
Rabu, 11 Februari 2009
Harta Bersama Dalam Perkawinan
Oleh : Slamet Hasan
Kepemilikan harta setelah pernikahan menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebut dengan harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta yang diatur dalam ayat (2) Pasal 35 yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dikenal juga adanya harta bersama, antara lain diatur dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islan disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Bagaimana menyikapi harta bersama ini? Masing-masing pihak memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga dan memanfaatkannya. Demikian pula sebaliknya kedua belas pihak juga tidak dapat melakukan perbuatan hokum tanpa ada persetujuan dri yang lainnya. Menurut Pasal 36 UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa terhadap harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Artinya masing-masing pihak tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum baik berupa penjualan, penghibahan atau agunan/hak hipotik atas harta bersama, kecuali atas sepersetujuan kedua belah pihak yakni antara suami dan istri.
Ketentuan tersebut diperkuat dengan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Bagaimana jika perkawinan putus karena percerian?
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, apabila terjadi perceraian, maka secara hukum masing-masing pihak (suami/istri) berhak masing-masing seperdua dari harta bersama. Namun apabila terjadi perselisihan mengenai harta bersama ini, masing-masing pihak dapat merujuk kepada Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama
Kepemilikan harta setelah pernikahan menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebut dengan harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta yang diatur dalam ayat (2) Pasal 35 yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dikenal juga adanya harta bersama, antara lain diatur dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islan disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Bagaimana menyikapi harta bersama ini? Masing-masing pihak memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga dan memanfaatkannya. Demikian pula sebaliknya kedua belas pihak juga tidak dapat melakukan perbuatan hokum tanpa ada persetujuan dri yang lainnya. Menurut Pasal 36 UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa terhadap harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Artinya masing-masing pihak tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum baik berupa penjualan, penghibahan atau agunan/hak hipotik atas harta bersama, kecuali atas sepersetujuan kedua belah pihak yakni antara suami dan istri.
Ketentuan tersebut diperkuat dengan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Bagaimana jika perkawinan putus karena percerian?
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, apabila terjadi perceraian, maka secara hukum masing-masing pihak (suami/istri) berhak masing-masing seperdua dari harta bersama. Namun apabila terjadi perselisihan mengenai harta bersama ini, masing-masing pihak dapat merujuk kepada Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama
Selasa, 03 Februari 2009
Ketentuan Pidana dalam Ketenagakerjaan
Oleh : Slamet Hasan
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh sebuah berita tentang seorang manager HRD sebuah hotel terkenal di Jakarta yang menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena menahan tidak membayar gaji pekerja selama diskorsing.
Tidak lama kemudian ada lebih dari 3 pimpinan perusahaan asing di Lumajang Jawa Timur yang mengajukan suaka atau perlindungan kepada Presiden karena merasa terancam dikejar-kejar oleh aparat yang berwajib.
Sebanarnya, apa bisa seorang pengusaha diancam pidana penjara berdasarkan UU No. 13 tahun 2003?
Secara umum kita memahami bahwa masalah penjara, kurungan, denda maupun bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dikenal dengan sebutan KUHP. Lantas bisakah orang dipenjara berdasarkan UU No. 13 tahun 2003?
Selama ini orang mengenal bahwa UU No. 13 tahun 2003 adalah sebuah peraturan yang mengatur tentang seluk beluk mengenai ketenagakerjaan, mulai dari masalah kesempatan kerja, pelatihan kerja sampai dengan masalah pemutusan hubungan kerja dengan segala konsekuensinya.
Dalam UU No. 13 tahun 2003, dikenal ada 3 (tiga) jenis sanksi yag dapat dikenakan kepada siapa yang melanggarnya. Ketiga sanksi tersebut terdiri ari (i) sanksi tindak pidana kejahatan, (ii) sanksi tindak pidana pelanggaran dan (iii) sanksi administratif.
Sanksi tindak pidana kejahatan diatur dalam Pasal 183, Pasal 184, dan Pasal 185 yang ancaman hukumannya juga tidak dapat diremehkan yakni dengan ancaman pidana minimal 1 (satu) tahun, paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sedangkan untuk sanksi tindak pidana pelanggaran diatur dalam Pasal 186, Pasal 187 dan pasal 188. dalam ketentuan pidana dengan sanksi tindak pidana pelanggaran diatur bahwa ancaman penjara minimal dapat dikenakan selama 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun beserta denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
Sementara sanksi administratif diatur dalam Pasal 190 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sanksi administraif yang dapat dikenakan kepada perusahaan yang melanggar antara lain ; (i) teguran, (ii) peringatan tertulis, (iii) pembatasan kegiatan usaha, (iv) pembekuan kegiatan usaha, (v) pembatalan persetujuan, (vi) pembatalan pendaftaran, (vii) penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan (viii) pencabutan izin.
Tulisan ini hanya sebagai stimulus bagi kita semua untuk berdiskusi dan akan berlanjut dengan ulasan lebih lanjut.
Salam hangat,
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh sebuah berita tentang seorang manager HRD sebuah hotel terkenal di Jakarta yang menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena menahan tidak membayar gaji pekerja selama diskorsing.
Tidak lama kemudian ada lebih dari 3 pimpinan perusahaan asing di Lumajang Jawa Timur yang mengajukan suaka atau perlindungan kepada Presiden karena merasa terancam dikejar-kejar oleh aparat yang berwajib.
Sebanarnya, apa bisa seorang pengusaha diancam pidana penjara berdasarkan UU No. 13 tahun 2003?
Secara umum kita memahami bahwa masalah penjara, kurungan, denda maupun bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dikenal dengan sebutan KUHP. Lantas bisakah orang dipenjara berdasarkan UU No. 13 tahun 2003?
Selama ini orang mengenal bahwa UU No. 13 tahun 2003 adalah sebuah peraturan yang mengatur tentang seluk beluk mengenai ketenagakerjaan, mulai dari masalah kesempatan kerja, pelatihan kerja sampai dengan masalah pemutusan hubungan kerja dengan segala konsekuensinya.
Dalam UU No. 13 tahun 2003, dikenal ada 3 (tiga) jenis sanksi yag dapat dikenakan kepada siapa yang melanggarnya. Ketiga sanksi tersebut terdiri ari (i) sanksi tindak pidana kejahatan, (ii) sanksi tindak pidana pelanggaran dan (iii) sanksi administratif.
Sanksi tindak pidana kejahatan diatur dalam Pasal 183, Pasal 184, dan Pasal 185 yang ancaman hukumannya juga tidak dapat diremehkan yakni dengan ancaman pidana minimal 1 (satu) tahun, paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sedangkan untuk sanksi tindak pidana pelanggaran diatur dalam Pasal 186, Pasal 187 dan pasal 188. dalam ketentuan pidana dengan sanksi tindak pidana pelanggaran diatur bahwa ancaman penjara minimal dapat dikenakan selama 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun beserta denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
Sementara sanksi administratif diatur dalam Pasal 190 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sanksi administraif yang dapat dikenakan kepada perusahaan yang melanggar antara lain ; (i) teguran, (ii) peringatan tertulis, (iii) pembatasan kegiatan usaha, (iv) pembekuan kegiatan usaha, (v) pembatalan persetujuan, (vi) pembatalan pendaftaran, (vii) penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan (viii) pencabutan izin.
Tulisan ini hanya sebagai stimulus bagi kita semua untuk berdiskusi dan akan berlanjut dengan ulasan lebih lanjut.
Salam hangat,
Langganan:
Postingan (Atom)