Senin, 25 Agustus 2008

Baju Untuk Koruptor

Oleh: Slamet Hasan
Advokat di Jakarta


Beberapa hari terakhir ini kita dimeriahkan oleh satu wacana oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yaitu tentang baju khusus untuk koruptor. Wacana tersebut cukup seksi, sehingga tidak heran kalau akhirnya menjadi sangat meriah dibicarakan banyak kalangan. Bisa dikatakan dari pemulung sampai politisi di DPR. Tentu, ada yang pro ada pula yang kontra.

Salah satu lembaga swadaya masyarakat, sebutlah ICW (Indonesian Coruption Watch), langsung menyerahkan beberapa design baju untuk koruptor. KPK sendiri memang akan mengenakan baju khusus untuk koruptor, namun rancangan dan pembuatannya tidak akan ditenderkan, tapi kehadiran baju khusus koruptor tidak kunjung terbit pula.

Sebenarnya tulisan saya kali ini ada benang merah dengan tulisan saya yang terdahulu. Dari 2 (dua) tulisan ini yakni Hukuman Mati Untuk Koruptor maupun Baju Untuk Koruptor memiliki tujuan sama, yaitu menimbulkan efek jera kepada pelaku korupsi. Tapi pertanyaannya apakah dengan memakai baju khusus akan membuat koruptor malu, takut dan jera ? Jawaban tidak seriusnya, lha dihukum mati aja tidak malu, tidak takut dan tidak jera apalagi kalau cuma memakai baju koruptor ?

Mungkin dalam pikiran seorang koruptor ada kebanggaan, karena dituduh korupsi justru membuktikan bahwa mereka adalah pejabat. Mana mungkin rakyat jelata dituduh korupsi ?

Betapa naifnya kebanggaan mereka.

Pro dan Kontra Baju Koruptor

Pemakaian baju untuk tersangka kasus korupsi memang menuai banyak pro dan kontra. Yang setuju dengan ide ini, misalnya Denny Indrayana, pengamat Hukum Tata Negara dan penggerak antikorupsi ini mengatakan bahwa ide itu adalah brilliant. Asalkan tidak menyebutkan “narapidana korupsi”, pemakaian baju untuk tersangka korupsi itu sah-sah saja katanya.

Pandangan berbeda diberikan oleh Patrilis Akbar, anggota DPR dari PAN, “yang paling penting penindakan yang dilakukan sudah sesuai, jadi tidak musti tergantung harus pakai baju begini-begini,” ujar Patrialis. Demikian pula suara dari Kejaksaan Agung, dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendi. “Orang nggak punya baju dikasih baju, Orang sudah punya baju ngapain dikasih? Kita harus menghargai hak-haknya, itu kan dia belum bersalah.” Katanya.

Azas Praduga Tak Bersalah

Diluar dari perdebatan mengenai pro dan kontra pemakaian baju untuk tersangka kasus korupsi, penulis ingin memberikan pandangan berbeda mengenai azas praduga tak bersalah. Azas ini telah dikenal dalam konteks hukum Indonesia. Misalnya dalam hukum acara pidana maupun dalam UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan dengan jelas adanya azas praduga tak bersalah.

Hal ini sangat jelas diautur dalam Pasal 13. c Penjelasan Umum UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP jo Pasal 8 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Apa bedanya dengan perbuatan main hakim sendiri, jika seorang tersangka langsung dilakukan “penghakiman” oleh masyarakat sebelum pengadilan membuktikan kesalahannya secara hukum.

Apa bedanya dengan tindakan main hakim sendiri terhadap orang yang dituduh mencuri atau orang yang dituduh sebagai dukun tukang santet yang sempat menggegerkan masyarakat Jawa Timur beberapa tahun lalu. Jika yang satu dihakimi dengan dipukuli secara phisik, yang lain dihakimi dengan dipukuli hingga babak belur secara opini ?

Lantas di mana kewibawaan dan kepastian hukum ?

Terus terang penulis juga dihadapkan pada suatu pilihan yang sangat dilematis. Yakni satu sisi hukum harus ditegakkan sehingga kewibawaanya terjaga. Di sisi yang lain, masyarakat merasa terciderai rasa keadilannya ketika menyaksikan opera dan drama yang diperankan oleh penegak hukum kita yang sering sumbang, banyak keliru dan MEMBOHONGI.

Solusinya Adalah

Nampaknya perdebatan mengenai pro dan kontra pemakaian baju khusus untuk tersangka korupsi maupun penerapan hukuman mati hanya akan ramai di wilayah warung kopi dan tempat kongkow-kongkow (seminar dan diskusi). Pemakaian baju khusus korupsi untuk tersangka korupsi tidak akan memberikan dampak yang cukup berarti, jika para penegak hukum kita hanya pandai bermain peran layaknya pemain teater.

Penulis berpendapat, pemakaian baju untuk tersangka korupsi tidak perlu dilakukan secara demonstrative, cukup dengan baju tahanan yang selama ini juga dikenakan kepada para tahanan umumnya. Toh disangka/dituduh korupsi saja jika orang memiliki rasa malu, tentu sudah malu.

Yang terpenting adalah tegakkan disiplin dan moralitas para penegak hukum kita.

Selasa, 19 Agustus 2008

Keguguran, Seorang Ibu Laporkan Dokter ke Polisi

Sumber : Koran Tempo


Seorang ibu bernama Siti Napsiya, 27 tahun, mengalami keguguran gara-gara petugas medis rumah sakit salah memberikan obat. Diwakili kuasa hukumnya, Nopber Siregar, kasus ini dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. "Ada kelalaian yang menyebabkan kematian," kata Nopber kemarin.

Menurut Nopber, kelalaian itu dilakukan secara bersama-sama oleh dokter dan bidan. Awalnya, pada 24 Juli, Siti yang tengah hamil 8,5 bulan merasakan sesak di bawah dadanya. Dia menghubungi Rumah Sakit Jagakarsa, Jakarta Selatan, via telepon. Seorang bidan di sana menyarankan Siti datang ke rumah sakit.

Di rumah sakit, kandungan Siti diperiksa. Denyut jantung normal dan tak ada tanda-tanda akan melahirkan. Bidan menawarkan rawat inap sambil menunggu konsultasi dokter esok paginya. Bidan berinisial DS itu kemudian memberi obat berwarna merah kecil. "Setelah minum obat, rasanya biasa saja. Janin saya juga masih bergerak," kata Siti. Dia pun tidur.

Pagi hari, bidan DS kembali mengantarkan obat. Setelah Siti meminumnya, DS meminta Siti bersabar. "Nanti siang kan ibu mau dikuret," kata Siti menirukan ucapan DS. Siti kaget dan protes. "Saya tidak mau dikuret, kondisi saya sehat," kata Siti. Sang bidan buru-buru keluar dari ruangan. Tidak berapa lama, masuk bidan lain yang mencari bungkusan obat terakhir. Siti
sempat mencatat nama obat itu: Cytotex.

Menjelang siang, perut Siti mengeras dan sakit. Kaki menjadi lemas dan kaku. "Badan saya gemetar, tubuh saya dingin. Saya sesak, sementara perut semakin mengeras dan mulas," kata Siti.

Siti melihat lima bidan dan dua dokter mengerubunginya. "Mereka tampak panik," ujarnya. Para petugas mengambil berbagai tindakan medis. Siti yakin saat itu bayinya tak lagi bergerak. Namun, para bidan dan dokter mengatakan masih ada detak jantung lemah.

Siti meminta janinnya diperiksa dengan peralatan ultrasonografi. "Tapi kata mereka, dokter kandungan datangnya siang," kata Siti. Baru sekitar pukul 16.30, pada 25 Juli, dokter spesialis ob-gyn mengabarkan bayi Siti tak lagi bernyawa.

Pada 27 Juli pagi, rumah sakit merujuk Siti ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di sana, ia melahirkan normal bayinya yang sudah meninggal. Siti mengecek obat Cytotex ke rumah sakit lain. Dia mendapat penjelasan bahwa itu merek obat mag. "Tapi, sekarang lebih banyak dipakai untuk menguret janin," kata Nopber Siregar.

Menurut Nopber, bidan DS adalah mahasiswi magang di Rumah Sakit Aulia. Dia mengantar Cytotex atas perintah bidan ID, yang dipesan oleh dokter umum AG. "Ada kecerobohan dalam prosedur sehingga patut diduga rumah sakit salah memberikan obat," kata Nopber. Mereka inilah yang dilaporkan ke polisi untuk dimintai pertanggungjawaban.

Tempo menghubungi Rumah Sakit Aulia. Petugas rumah sakit bernama Rika membenarkan dokter AG memang bertugas di sana. "Tapi jam prakteknya sudah berakhir," kata dia. Dia meminta Tempo langsung menemui AG, tapi enggan memberikan lokasi praktek AG yang lain. [Koran Tempo]

Rabu, 13 Agustus 2008

Memberantas Narkoba atau Menghukum Korban Narkoba

oleh : SlametHasan, SH
Advokat di Jakarta


Akhir-akhir ini pemberitaan tentang narkotika kembali marak. Apalagi sejak ditangkapnya Sheila Marcia, artis sinetron yang ditangkap saat pesta sabu-sabu di sebuah apartemen di kawasan Pluit Jakarta. Tak pelak penangkapan Sheila Marcia menambah panjang deretan artis dan pengguna narkoba lainnya di Indonesia.

Demikian pula ketika penulis suatu waktu berkesempatan berkunjung di Pengadilan Negeri Depok, ternyata kasus terbanyak yang sedang diproses di pengadilan ini adalah kasus narkoba. Sedemikian hebat dan meluaskah narkoba di sekitar kita?

Memang jika kita menengok lebih ke dalam, virus narkoba telah merasuki ruang-ruang kecil di seluruh pelosok negeri kita. Di keluarga misalnya, beberapa waktu lalu dalam sebuah tayangan di stasiun Trans TV dalam acara Mendadak Insyaf, ada seorang pemuda yang “baik-baik” di mata keluarga ternyata tanpa sepengetahuan keluarga lainnya menjadi salah satu pecandu narkoba. Untungnya dia bertaubat dan insyaf. Di lembaga pendidikan sekalipun, tidak jarang didapati anak-anak usia sekolah telah mengenal dan bahkan memakai narkoba. Alih-alih dunia yang jauh dari lingkungan hukum dan peradilan, ternyata di Lembaga Pemasyarakatan (LP) pun menjadi salah satu mata rantai pengedaran narkoba. Tragis.

Perang terhadap narkoba sudah lama dikumandangkan. Upaya pemberantasan narkoba pun juga telah lama digalakkan. Sudah banyak pihak-pihak yang terkait dengan kasus narkoba ditangkap dan disidangkan di Pengadilan, bahkan telah banyak pula yang divonis hukuman mati. Namun demikian, kasus narkoba tidak berhenti bahkan nampaknya akan lebih panjang.

Dalam judul tulisan ini, Penulis sengaja mengangkat tema memberantas narkoba atau menghukum korban narkoba?

Tema ini menjadi hangat dibicarakan di beberapa forum, termasuk salah satu forum mailing list yang Penulis ikuti. Semua sepakat menanyakan soal ini.

Demikianlah kenapa narkoba tidak kunjung reda, dan pemberantasan narkoba tidak kunjung menunjukkan hasil. Bisa jadi aparat hukum kita selama ini hanya ingin popularitas, ingin mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari masyarakat karena telah menangkap artis ini-itu yang tertangkap dengan segelintir sabu-sabu dan dituduh sebagai pengguna narkoba. Tapi biasanya hanya berhenti sampai di sini. Mana pengedarnya ? Mana produsen narkobanya ? menjadi gelap.

Bagaimana bisa memberantas narkoba jika yang ditangkap dan diproses secara hukum hanyalah sebagai pengguna sementara pengedar atau produsen bebas melenggang ?

Pengguna atau pemakai bisa jadi hanya korban yang sebenarnya justru membutuhkan pengobatan (rehabilitasi), bukan penjara. Namun nampaknya aparat hukum kita tidak melihat dan mempertimbangkan hal ini.

Sekarang mari kita tantang aparat hukum kita untuk benar-benar memberantas narkoba dengan menangkap pengedar dan produsen narkoba. Bukan hanya asyik menangkapi “korban-korban” narkoba.

Berantas Narkoba !

Pidana Mati Untuk Koruptor

Oleh: Slamet Hasan, SH
Advokat di Jakarta


Diskursus mengenai pidana mati kembali mencuat setelah Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono melalui jurubicara Kepresidenan, Andi Malaranggeng, mencetuskan wacana atau ide untuk menerapkan pidana mati bagi koruptor. Silakan masyarakat mewacanakan kembali perihal penerapan pidana mati bagi koruptor di Indonesia, begitu kira-kira sentilan Andi dalam sebuah wawancara dengan media massa. Pesan yang ingin disampaikan kurang lebih bahwa pemerintah SBY sangat serius dan tegas dalam upaya pemberantasan korupsi.

Menanggapi wacana tersebut, masyarakat hiruk pikuk mengangkat tema ini dalam setiap pembicaraan maupun obrolan ringan sambil minum teh atau kopi. Beberapa media massa baik cetak maupun televisi kembali mengangkat tema pidana mati dalam beberapa acara talk show, laporan khusus maupun diskusinya. Sedemikian antusias masyarakat kita menanggapi tema ini.

Sebagai pengingat, sebenarnya pidana mati dalam konteks hukum Indonesia telah dikenal dan diterapkan sejak jaman hindia belanda. Ketika menilik penerapan pidana mati, dalam kurun waktu dari jaman doeloe sampai sekarang memang telah mengalami beberapa perubahan, terutama dalam hal pelaksanaan pidana mati dilakukan. Misalnya dalam ketentuan BAB II Pasal 11 KUHP menyebutkan bahwa pidana mati dilakukan oleh seorang algojo di tempat gantungan.

Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam KUHP ini masih berlaku sebagaimana diatur dalam Perpres RI No. 2 tahun 1964, meskipun cara dan mekanisme pelaksanaan hukuman tidak lagi dengan cara dilakukan oleh seorang algojo di atas tiang gantungan.

Pidana mati selain diatur dalam KUHP juga dimuat dalam beberapa Undang-undang, antara lain adalah UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU No. 15 tahun 2003 Tentang Terorisme.

Dalam konteks ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia adalah sah menurut hukum dan tidak melangggar konstitusi.

Menolak Hukuman Mati

Salah satu pihak yang paling vocal menolak diterapkannya hukuman mati di Indonesia adalah KONTRAS. Sebagaimana dirilis dalam laporannya mengatakan bahwa hukuman mati sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non derogaleb right) ini merupakan jenis hak yang tidak dapat dilanggar, dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan darurat, perang maupun ketika seseorang dipidana.

Hukuman Mati Untuk Koruptor

Prof. Romli Atmasasmita menolak diberlakukannya hukuman mati terhadap koruptor. Selama ini pidana mati terbukti tidak efektif memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan, lebih baik bagi seorang terpidana korupsi dikenakan hukuman kerja sosial, dengan demikian sang terpidana akan berasa malu jika harus melakukan kerja sosial di depan publik. Demikian pokok pemikiran dari Prof. Romli menanggapi penerapan hukuman mati terhadap koruptor.

Demikian pula pendapat Prof. Amin Rais, "Hukuman mati bagi para koruptor itu saya anggap terlalu berat, sebaiknya koruptor itu dikirim ke Pulau Buru saja. Kalau dari sana itu mereka melarikan diri baru ditembak, " ujar Amien sebagaimana dikutip dari www.eramuslim.com.

Hukuman mati bagi koruptor sendiri diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 tetang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 2 Ayat 2 UU No 20 tahun 2001 menyebutkan "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan". Sementara Pasal 1 berbunyi "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"

Dengan demikian penerapan hukuman mati terhadap koruptor sebenarnya sudah diatur dan sangat dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun sangat sulit dalam prakteknya. Pelaksanaan hukuman mati bagi kasus korupsi dapat dilaksanakan dalam hal perbuatan pidana korupsi tersebut dilakukan jika Negara dalam keadaan darurat maupun bencana alam.

Penulis sendiri setuju dengan penerapan hukuman mati apabila pelaksanaan hukuman mati tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga harus dilakukan secara selektif dan hati-hati dengan memberikan kesempatan pembelaan secara hukum yang seluas-luasnya terhadap Terdakwa.

Bagaimana dengan Anda?