Rabu, 11 Februari 2009

Harta Bersama Dalam Perkawinan

Oleh : Slamet Hasan

Kepemilikan harta setelah pernikahan menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebut dengan harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta yang diatur dalam ayat (2) Pasal 35 yakni harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dikenal juga adanya harta bersama, antara lain diatur dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islan disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Bagaimana menyikapi harta bersama ini? Masing-masing pihak memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga dan memanfaatkannya. Demikian pula sebaliknya kedua belas pihak juga tidak dapat melakukan perbuatan hokum tanpa ada persetujuan dri yang lainnya. Menurut Pasal 36 UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa terhadap harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Artinya masing-masing pihak tidak dapat melakukan suatu tindakan hukum baik berupa penjualan, penghibahan atau agunan/hak hipotik atas harta bersama, kecuali atas sepersetujuan kedua belah pihak yakni antara suami dan istri.

Ketentuan tersebut diperkuat dengan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Bagaimana jika perkawinan putus karena percerian?

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, apabila terjadi perceraian, maka secara hukum masing-masing pihak (suami/istri) berhak masing-masing seperdua dari harta bersama. Namun apabila terjadi perselisihan mengenai harta bersama ini, masing-masing pihak dapat merujuk kepada Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama

3 komentar:

  1. Bisa menambah pengetahuan kita

    BalasHapus
  2. artikelnya menarik,,menambah pengetahuan saya,,

    punya contoh kasus mengenai perjanjian jual beli atas harta bersama gak?

    bagaimana bila ada terjadi perjanjian jualbeli atas harta bersama bila salah satu pihak tidak tahu/ bahkan tidak menyetujuinya?

    BalasHapus
  3. Bagaimana bila harta yang diperoleh selama perkawinan lebih banyak dihasilkan oleh si istri, sedangka si suami hanya memberikan nafkah sekedarnya saja, Rumah, mobil, dll seluruhnya dibeli dari penghasilan si istri, apakah hal tersebut juga tetap harus dibagi dua?????????????

    BalasHapus